Senin, 15 April 2013

ilmu POLY PARMACY


PENDAHULUAN

Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolic secara abnormal. Gagal jantung merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dari segala jenis penyakit jantung congenital (bawaan) maupun didapat.  Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel; dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dam kardiomiopati.
Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi miokardium, baik secara sendiri-sendiri maupun secara gabungan dari : 1) beban awal, 2) kontraktilitas, dan 3) beban akhir.
Prinsip penatalaksanaan gagal jantung :
1.    Menigkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas.
2.    Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
Obat inotropik positif Obat inotropik positif bekerja dengan meningkatkan kontraksi otot jantung (miokardium) dan digunakan untuk gagal jantung, yakni keadaan dimana jantung gagal untuk memompa darah dalam volume yang dibutuhkan tubuh. Keadaan tersebut terjadi karena jantung bekerja terlalu berat atau karena suatu hal otot jantung menjadi lemah. Beban yang berat dapat disebabkan oleh kebocoran katup jantung, kekakuan katub, atau kelainan sejak lahir dimana sekat jantung tidak terbentuk dengan sempurna.

Ada 2 jenis obat inotropik positif, yaitu
a. Glikosida jantung
Glkosida jantung adalah alkaloid yang berasal dari tanaman Digitalis purpurea yang kemudian diketahui berisi digoksin dan digitoksin. Keduanya bekerja sebagai inotropik positif pada gagal jantung.
b. Penghambat fosfodiesterase
Obat-obat dalam golongan ini merupakan penghambat enzim fosfodiesterase yang selektif bekerja pada jantung. Hambatan enzim ini menyebabkan peningkatan kadar siklik AMP (cAMP) dalam sel miokard yang akan meningkatkan kadar kalsium intrasel. Diantaranya adalah Milrinon dan Aminiron.
Dalam case study obat yang diberikan adalah digoksin, berikut akan menjelaskan mengenai digoksin.

1.      DIGOKSIN
Digoksin adalah suatu obat yang diperoleh dari tumbuhan Digitalis lanata, diekstraksi dari tanaman foxglove. Digoksin digunakan terutama untuk meningkatkan kemampuan memompa (kemampuan kontraksi) jantung dalam keadaan kegagalan jantung/congestive heart failure (CHF). Obat ini juga digunakan untuk membantu menormalkan beberapa dysrhythmias ( jenis abnormal denyut jantung). Obat ini termasuk obat dengan Therapeutic Window sempit (jarak antara MTC [Minimum Toxic Concentration] dan MEC [Minimum Effectiv Concentration] mempunyai jarak yang sempit. Artinya rentang antara kadar dalam darah yang dapat menimbulkan efek terapi dan yang dapat menimbulkan efek toksik sempit. Sehingga kadar obat dalam plasma harus tepat agar tidak melebihi batas MTC yang dapat menimbulkan efek toksik. Digoksin memiliki rumus molekul  C41H64O14 dengan bobot molekul 780,938 g/mol.





1.1 Farmakokinetik
Absorpsi
              Setelah pemberian dosis oral baik dalam bentuk tablet maupun eliksir, sekitar 60-85% digoksin akan diabsorpsi. Digoksin dalam sediaan kapsul cair akan diabsorpsi sekitar 90-100%.   Absorpsi terutama terjadi pada usus kecil yang kemungkinan melalui proses nonsaturable. Penundaan pengosongan lambung atau adanya makanan mungkin akan memperlambat penyerapan digoksin,  tetapi tidak mengurangi tingkat penyerapannya. Penyerapan digoksin dari saluran cerna akan mengalami penurunan hanya jika digoksin diberikan bersama makanan tinggi serat. pH lambung tidak menghalangi penyerapan digoksin. Penyerapan digoksin dapat terganggu akibat keadaan malabsorpsi.  Konsentrasi plasma digoksin bervariasi pada tiap-tiap individu dengan dosis tertentu dapat mengakibatkan efek terapeutik pada seseorang, namun dapat juga menghasilkan efek toksik pada orang lain. Ambilan digoksin dari otot jantung pada bayi hampir 2 kali lebih besar dibandingkan pada orag dewasa. Untuk mengetahui konsentrasi plasma digoksin pada pasien maka sampel darah harus diambil pada 6-8 jam setelah pemberian digoksin. Konsentrasi plasma yang menghasilkan efek terapeutik pada orang dewasa umumnya sekitar 0,5-2 ng/mL, sedangkan pada pasien dengan fibrilasi atrial memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi yaitu sekitar 2-4 ng/mL akibat adanya pelambatan laju ventrikel.  Pada orang dewasa kecuali dengan fibrilasi atrial toksisitas dapat terjadi pada kondisi plasma yang stabil lebih dari 2 ng/mL. Neonatus umumnya mampu mentolerir konsentrasi plasma yang lebih tingg dibanding orang dewasa. Pada pemberian IV 400-600 mcg dalam dosis tunggal menghasilkan onset pada 5-30 menit dan efek maksimum terjadi pada 1-4 jam. Efek digoksin dapat bertahan selama 3-4 hari.
Distribusi
Pada konsentrasi plasma terapeutik, sekitar 20-30% digoksin terikat pada protein plasma. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat memiliki volume distribusi yang lebih kecil dibandingkan pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Saat berada dalam darah, seluruh glikosida jantung secara luas didistribusikan ke jaringan, termasuk sistem saraf pusat.
Metabolisme
Umumnya hanya sedikit digoksin yang akan mengalami metabolisme, namun tingkat metabolisme ini dapat bervariasi dan berakibat fatal pada beberapa pasien. Sebagian kecil metabolisme terjadi dihati, dan metabolisme juga dapat terjadi oleh bakteri dilumen usus setelah pemberian oral atau setelah eliminasi empedu pada pemberian IV. Digoksin mengalami reaksi pembelahan bertahap dari gugus gula untuk membentuk digoksigenin-bisdigitoxosida, digoksigenin-monodigitoxosida, dan digoksigenin, metabolit tersebut bersifat menurunkan kardioaktivitas digoksin. Digoksin juga mengalami pengurangan cincin lakton membentuk dihidrodigoksin yang kemudian juga mengalami pembelahan bertahap pada gugus gulanya.

Eliminasi
Waktu paruh distribusi (t1/2) digoksin setelah pemberian IV adalah sekitar 30 menit baik pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal maupun normal. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal waktu paruh eliminasinya sekitar 34-44 jam. Waktu paruh eliminasi berkepanjangan akan terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pada pasien anephrik waktu paruh eliminasi dapat mencapai 4,5 hari atau lebih. Waktu paruh eliminasi digoksin akan menurun pada pasien dengan overdosis akut. Waktu paruh eliminasi meningkat pada pasien hipotiroid dan menurun pada pasien hipertiroid. Pada pasien tak terdigitalisasi, yang menerima dosis pemeliharaan tanpa loading dose yang telah mencapai konsentrasi steady-state akan mengalami peningkatan waktu paruh eliminasi yaitu sekitar 4-5 kali waktu paruh eliminasi atau sekitar 7 hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Eliminasi harian pada pasien dengan fungsi ginjal normal adalah sekitar 30%, dan 14% pada pasien anurik. Presentase eliminasi harian digoksin dapat dihitung dengan persamaan:  %Eliminasi = 14+(bersihan kreatinin (ml/menit)/5).
Penggunaan persamaan diatas harus ekstra hati-hati karena bersihan kreatinin tidak akurat menggambarkan fungsi ginjal dan bersihan digoksin total dari dalam tubuh pasien.




1.2 Farmakodinamik
Mekanisme kerja digoksin yaitu dengan menghambat pompa Na+- K+ATPase yang menghasilkan peningkatan natrium intracellular yang menyebabkan lemahnya pertukaran natrium/kalium dan meningkatkan  kalsium intracellular. Hal tersebut dapat meningkatkan penyimpanan kalsium intrasellular di sarcoplasmic reticulum pada otot jantung, dan dapat meningkatkan cadangan kalsium untuk memperkuat /meningkatkan kontraksi otot. Ion Na+ dan Ca2+ memasuki sel otot jantung selama/setiap kali depolarisasi. Ca2+ yang memasuki sel melalui kanal Ca2+ jenis L selama depolarisasi memicu pelepasan Ca2+ intraseluler ke dalam sitosol dari retikulum sarkoplasma melalui reseptor ryanodine (RyR). Ion ini menginduksi pelepasan Ca2+ sehingga meningkatkan kadar Ca2+ sitosol yang tersedia untuk berinteraksi dengan protein kontraktil, sehingga kekuatan kontraksi dapat ditingkatkan. Selama repolarisasi myocyte dan relaksasi, Ca2+ dalam selular kembali terpisahkan oleh Ca2+ sarkoplasma retikuler –ATPase. dan juga akan dikeluarkan dari sel oleh penukar Na+- Ca2+ (NCX) dan oleh Ca2+ sarcolemmal -ATPase. Kapasitas dari penukar untuk mengeluarkan  Ca2+ dari sel tergantung pada konsentrasi Na+ intrasel.  Pengikatan glikosida jantung ke sarcolemmal Na+,K+-ATPase dan penghambatan aktivitas pompa Na+ seluler  menghasikan pengurangan tingkat aktifitas  ekstrusi Na+ dan peningkatan sitosol Na+. Peningkatan Na+ intraseluler mengurangi gradien transmembran Na+ yang mendorong ekstrusi Ca2+ intraseluler selama repolarisasi myocyte. Dengan mengurangi pengeluaran Ca2+ dan masuknya kembali Ca2+ pada setiap kali potensial aksi, maka Ca2+ terakumulasi dalam myocyte: serapan Ca2+ ke dalam SR meningkat; ini juga meningkatkan Ca2+ sehingga dapat dilepaskan dari SR ke troponin C dan protein Ca2+-sensitif dari aparatus kontraktil lainnya selama siklus berikutnya dari gabungan eksitasi-kontraksi, sehingga menambah kontraktilitas myocyte (Gambar 33-8). Peningkatan dalam pelepasan Ca2+ dari retikulum sarkoplasma adalah merupakan substrat biologis di mana  glikosida jantung meningkatkan kontraktilitas miokard.  Glikosida jantung berikatan secara khusus ke bentuk terfosforilasi dari  a subunit dari Na+, K+-ATPase. Ekstraselular K+ mendorong defosforilasii enzim sebagai langkah awal dalam translokasi aktif kation ke dalam sitosol, dan juga dengan demikian menurunkan afinitas enzim dari glikosida jantung. Hal ini menjelaskan sebagian pengamatan bahwa dengan meningkatnya  ekstraselular K+ dapat membalikkan beberapa efek toksik dari glikosida jantung.
Selain itu, digoksin juga bekerja secara aksi langsung pada otot lunak vascular dan efek tidak langsung yang umumnya dimediasi oleh system saraf otonom dan peningkatan aktivitas vagal (refleks dari system saraf otonom yang menyebabkan penurunan kerja jantung).

1.3 Indikasi
Digoksin sebagai glikosida jantung digunakan untuk digitalisasi dan terapi pemeliharaan. Digoksin juga digunakan secara intravena (IV) untuk digitalisasi cepat pada kondisi darurat.

1.4 Dosis dan Cara Pemberian
Cara Pemberian
Digoksin umumnya diberikan secara oral sebagai dosis harian tunggal. Sedangkan untuk bayi dan anak kurang dari 10 tahun, dosis harian sebaiknya diberikan dalam dosis terbagi. Guna tercapainya konsentrasi serum puncak yang lebih tinggi yang belum terbentuk, maka dosis harian terbagi direkomendasikan bagi pasien dengan kriteria berikut:
  1. Bayi dan anak dengan umur kurang dari 10 tahun
  2. Pasien yang memerlukan dosis harian 300 mcg atau lebih
  3. Pasien dengan riwayat atau beresiko terhadap toksisitas dalam penggunaan glikosida jantung
  4. Pasien tanpa masalah kepatuhan terapi, jika pasien cenderung melanggar kepatuhan maka dosis harian tunggal lebih direkomendasikan
Jika terapi oral kurang efektif atau karena diperlukannya efek terapi yang cepat, maka digoksin dapat diberikan melalui injeksi IV. Namun terapi oral harus segera menggantikan injeksi IV bila telah memungkinkan. Untuk injeksi IV, digoksin harus dilarutkan terlebih dahulu setidaknya 5 menit atau dilarutkan dengan 4 kali lipat atau lebih besar dari volume dengan menggunakan air untuk injeksi, dekstrosa 5%, atau NaCl 0,9% dengan lama pemberian sekurang-kurangnya 5 menit. Penyuntikan digoksin dengan volume pengenceran kurang dari 4 kali volume awal dapat menyebabkan presipitasi digoksin. Pelarutan digoksin harus dilakukan secara perlahan. Infus intravena lambat lebih direkomendasikan daripada pemberian secara cepat. Infus IV cepat digoksin dapat menyebabkan penyempitan arteriolar sistemik dan koroner, yang dapat berakibat fatal, pemberian digoksin ini harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah terlatih. Jika pengukuran dosis digoksin yang sangat kecil dengan menggunakan jarum suntik tuberkulin, maka ini akan berpotensi overdosis. Pencampuran digoksin dengan obat lain dalam satu jarum suntik, atau dengan pemberian simultan sangat tidak direkomendasikan.

Meskipun digoksin dapat juga diberikan melalui injeksi intramuskular (IM), namun cara pemberian ini kurang direkomendasikan karena sering menyebabkan iritasi lokal yang parah disamping timbulnya rasa nyeri, disamping itu pemberian secara IV dapat menghasilkan efek yang lebih cepat dan dapat diprediksi. Pemberian injeksi IM tidak memberikan keuntungan dibanding injeksi IV, kecuali jika injeksi IV dikontraindikasikan. Jika terpaksa obat harus diberikan melalui injeksi IM, maka obat harus diberikan jauh ke dalam otot dengan disertai pijatan dari tempat suntikan, dengan volume penyuntikan tidak boleh lebih dari 2 mL pada satu sisi tempat penyuntikan. Terapi digoksin oral seyogyanya segera menggantikan terapi injeksi tersebut.

Dosis
Pertimbangan Umum
Pedoman dosis yang diberikan didasarkan pada respon rata-rata pasien dan berbagai variabel substansial yang dapat diamati pada pasien. Penentuan dosis harus didasarkan pada kondisi klinis masing-masing pasien.  Dokter umumnya mendasarkan pemilihan dosis berdasarkan konsentrasi serum digoksin. Radioimmunoassay dapat digunakan untuk memantau efek khasiat dan toksisitas dari digoksin.  Digoksin memiliki indeks terapi sempit, sehingga penentuan dosis harus sangat berhati-hati. Dosis biasa adalah dosis rata-rata yang pada beberapa pasien memerlukan modifikasi dengan memperhatikan kebutuhan dan respon tiap individu, kondisi umum, status kardiovaskular, fungsi ginjal, berat badan dan usia pasien, kondisi penyakit penyerta, obat-obatan lain, dan faktor-faktor lain yang mungkin mengubah farmakodinamika dan farmakokinetika digoksin, dan konsentrasi plasma digoksin. Perbedaan ketersediaan hayati digoksin pada pemberian oral, IV atau IM harus diperhatikan saat pasien beralih dari satu rute pemberian ke rute pemberian lainnya. Tidak ada perbedaan yang berarti pada ketersediaan hayati sediaan oral digoksin baik yang berbentuk tablet maupun eliksir, kedua bentuk sediaan tersebut dapat digunakan secara bergantian. Namun saat rute pemberian digoksin diubah dari oral atau IM ke IV, maka dosis digoksin harus dikurangi sekitar 20-25%. 

Pertimbangan Pengurangan Dosis pada Pasien dengan Pemantauan EKG
Pemantauan fungsi jantung dengan EKG harus dilakukan selama terapi digoksin pada kondisi:
  1. Terapi digoksin diberikan secara intravena
  2. Terapi digoksin diberikan secara oral dalam waktu lama
  3. Bila terapi digoksin diberikan pada pasien dengan resiko reaksi negatif terhadap digoksin seperti pada pasien dengan penyakit jantung atau ginjal yang berat
Dosis glikosida jantung, termasuk digoksin harus dikurangi pada kelompok pasien-pasien berikut:
  1. Pasien dengan hipokalemia
  2. Pasien dengan hipotiroid
  3. Pasien dengan kerusakan miokard yang luas
  4. Pasien dengan gangguan konduksi
  5. Pasien geriatri, terutama bila disertai penyakit arteri koroner
  6. Dosis digoksin individual harus diberikan pada pasien yang juga menerima terapi quinidin, karena eliminasi dan volume distribusi digoksin kemungkinan akan menurun.

Dosis bagi Pasien Gagal Jantung Kongestif 
Pada kondisi ini digoksin dapat diberikan baik secara digitalisasi cepat ataupun digitalisasi lambat yang berfrekuensi pada dosis maupun frekuensi pemberiannya. 
  1. Digitalisasi cepat (hanya jika diperlukan secara medis), loading dose digoksin harus diberikan dengan memperhatikan proyeksi penyimpanan digoksin dalam tubuh. Dosis pemeliharaan harian harus mengikuti loading dose, dan dihitung sebagai prosentase dari loading dose. Puncak penyimpanan digoksin dalam tubuh umumnya sebesar 8-12 mcg/Kg BB yang akan memberikan efek terapi dengan resiko toksisitas mimimum pada pasien dengan gagal jantung kongestif, irama sinus normal, dan fungsi ginjal yang normal.
  2. Digitalisasi lambat, terapi ini harus dimulai dengan dosis pemeliharaan harian yang tepat yang memungkinkan penyimpanan digoksin dalam tubuh secara perlahan. Konsentrasi steady-state umumnya akan dicapai dalam waktu 5 kali waktu paruh obat pada setiap pasien tergantung pada kondisi ginjal pasien. Umumnya memerlukan waktu 1-3 minggu. 

Loading Dose (Untuk Digitalisasi Cepat)
 Loading dose adalah pemberian obat dalam dosis terbagi dengan pemberian awal sekitar 50% dari total dosis, dan diikuti dengan fase pemberian berikutnya sebesar 25% pada interval 6-8 jam setelah pemberian pertama baik pada pemberian secara oral, IM maupun IV. Loading dose ini harus disertai dengan pemantauan klinis pasien terlebih bila dilakukan penambahan dosis. Jika berdasarkan respon klinisnya pasien memerlukan perubahan dosis, maka dosis pemeliharaannya dihitung berdasarkan jumlah loading dose yang sebenarnya, yaitu dosis totalnya. Biasanya dosis inisiasi oral sebesar 500-750 mcg (0,5-0,75 mg) digoksin tablet, atau 400-600 mcg (0,4-0,6 mg) digoksin kapsul cair menghasilkan efek terdeteksi setelah 0,5-2 jam dan terjadi efek maksimal pada waktu 2-6 jam. Dosis tambahan sekitar 125-375 mcg tablet digoksin atau 100-300 mcg digoksin kapsul cair bila perlu dapat diberikan secara hati-hati pada 6-8 jam setelah pemberian dosis inisiasi hingga diperoleh respon klinis yang memadai. Pasien dengan berat badan 70 Kg umumnya mendapatkan respon klinis yang memadai pada dosis 750-1250 mcg digoksin tablet atau setara dengan 600-1000 mcg digoksin kapsul cair.
Dosis inisiasi IV umumnya adalah 400-600 mcg (0,4-0,6 mg) yang segera akan menghasilkan efek terdeteksi setelah 5-30 menit pemberian dan mencapai efek maksimum setelah 1-4 jam setelah pemberian pada pasien dewasa. Dosis tambahan 100-300 mcg digoksin dapat diberikan secara hati-hati setelah 6-8 jam setelah pemberian dosis inisiasi hingga diperoleh respon klinis yang memadai. Dosis IV digoksin pada pasien dewasa dengan berat badan 70 Kg adalah sekitar 600-1000 mcg.

Dosis Pemeliharaan
Dosis pemeliharaan harian berfungsi untuk menggantikan digoksin yang tereliminasi dari tubuh pasien, maka dosis tersebut dapat diperkirakan dengan mengalikan prosentase eliminasi dengan penyimpanan tubuh (loading dose) yang menghasilkan respon klinis memadai. Pasien dengan fungsi ginjal normal umumnya mengeliminasikan sekitar 30% dosis harian total, sedangkan pasien anurik umumnya mengeliminasikan sekitar 14% dari total dosis harian digoksin. Dosis pemeliharaan digoksin pada pasien dewasa umumnya adalah 125-500 mcg sekali sehari, dosis harus dititrasi sesuai umur, berat badan, dan fungsi ginjal. Dosis pemeliharaan umumnya dimulai dengan dosis 250 mcg sekali perhari pada pasien dewasa dengan usia kurang dari 70 tahun dengan fungsi ginjal normal, dosis dapat ditingkatkan setiap 2 minggu sesuai dengan respon klinis. Sedangkan dosis pemeliharaan oral dengan kapsul cair umumnya sebesar 150-350 mcg setiap hari pada pasien dengan bersihan kreatinin lebih dari 50 ml/menit. Dosis pemeliharan digoksin IV biasanya 125-350 mcg sekali perhari pada pasien dengan bersihan kreatinin 50 ml/menit atau lebih.

Dosis pada Pasien Dewasa dengan Fibrilasi Atrial
Penyimpanan digoksin tubuh lebih dari 8-12 mcg/Kg diperlukan untuk sebagian besar pasien gagal jantung koroner dan irama sinus normal untuk mengendalikan laju ventrikel pada pasien dengan fibrilasi atrial. Dalam pengobatan pasien dengan fibrilasi atrial kronis, dosis digoksin harus dititrasi ke dosis minimum untuk menghasilkan efek yang diinginkan pada ventrikel.


Dosis Pediatrik
Dosis pada neonatus terutama bayi prematur harus dititrasi secara sangat berhati-hati karena kemungkinan klirensnya menurun. Bayi dan anak umur dibawah 10 tahun umumnya secara proporsional memerlukan dosis yang lebih besar dari anak umur lebih dari 10 tahun dan orang dewasa yang dihitung berdasarkan berat badan atau luas permukaan tubuh. Anak usia lebih dari 10 tahun memerlukan dosis dewasa dengan perhitungan berat badan anak-anak. Kapsul cair tidak direkomendasikan penggunaannya pada neonatus dan anak-anak. Dosis pemeliharaan pada anak usia 2-5 tahun dengan fungsi ginjal normal adalah 10-15 mcg/Kg BB, anak usia 5-10 tahun dengan fungsi ginjal normal adalah 7-10 mcg/Kg BB, sedangkan anak usia lebih dari 10 tahun dengan fungsi ginjal normal adalah 3-5 mcg/Kg BB. Dosis digitalisasi IV umumnya adalah 80% dari dosis tablet atau eliksir.

Dosis Geriatrik
Pada pasien geriatrik dosis harus dikurangi terlebih bila pasien menderita penyakit jantung koroner. Usia lanjut dapat menjadi indikator adanya penurunan fungsi ginjal. Dosis pemeliharaan pada pasien dengan usia lebih dari 70 tahun umumnya dimulai dengan dosis 125 mcg sekali sehari peroral (dalam bentuk tablet). 

Dosis pada Pasien dengan Penurunan Fungsi Hati
Tak ada penyesuaian dosis untuk pasiendengan penurunan fungsi hati.

Dosis pada Pasien dengan Penurunan Fungsi Ginjal
Dosis digoksin pada pasien dengan insufisiensi ginjal (bersihan kreatinin kurang dari 10 ml/menit, maka penyesuaian dosis ditentukan berdasarkan konsentrasi puncak penyimpanan digoksin dalam tubuh (6-10 mcg/Kg BB) karena penurunan fungsi ginjal ini akan mempengaruhi pola distribusi dan eliminasi digoksin.
Dosis pemeliharaan digoksin pada pasien dewasa dengan gangguan fungsi ginjal dapat dimulai dengan 125 mcg sekali sehari (tablet) atau 62,5 mcg pada pasien yang ditandai mengalami kerusakan ginjal, dosis dapat ditingkatkan setiap 2 minggu sesuai dengan respon klinis.

1.5  Kontraindikasi
Intermittent complete heart block ; Blok AV derajat II ; supraventricular arrhytmias yang disebabkan oleh Wolff-Parkinson-White Syndrome ; takikardia ventricular atau fibrilasi ; hypertropic obstructive cardiomyopathy.

1.6  Efek Samping
Biasanya berhubungan dengan dosis yang berlebih, termasuk : anoreksia, mual , muntah, diare, nyeri abdomen, gangguan penglihatan, sakit kepala, rasa capek, mengantuk , bingung, delirium, halusinasi, depresi ; aritmia, heart block ; jarang terjadi rash, isckemia intestinal ; gynecomastia pada penggunaan jangka panjang , trombositopenia.

1.7  Interaksi dengan Obat lain
Efek Cytochrome P450: substrat  CYP3A4 (minor): Meningkatkan efek/toksisitas : senyawa beta-blocking (propanolol), verapamil dan diltiazem  mempunyai efek aditif pada denyut jantung. Karvedilol mempunyai efek tambahan pada denyut jantung dan menghambat metabolisme digoksin. Kadar digoksin ditingkatkan oleh amiodaron (dosis digoksin diturunkan 50 %), bepridil, siklosporin, diltiazem, indometasin, itrakonazol, beberapa makrolida (eritromisin, klaritromisin), metimazol, nitrendipin, propafenon, propiltiourasil, kuinidin  dosis digoksin diturunkan 33 % hingga 50 % pada  pengobatan awal), tetrasiklin dan verapamil. Moricizine dapat meningkatkan toksisitas digoksin . Spironolakton dapat mempengaruhi pemeriksaan digoksin, namun juga dapat meningkatkan kadar digoksin secara langsung. Pemberian suksinilkolin pada pasien bersamaan dengan digoksin dihubungkan dengan peningkatan risiko aritmia. Jarang terjadi kasus toksisitas akut digoksin yang berhubungan dengan pemberian kalsium secara parenteral (bolus). Obat-obat berikut dihubungkan dengan peningkatan kadar darah digoksin yang  menunjukkan signifikansi klinik : famciclovir, flecainid, ibuprofen, fluoxetin, nefazodone, simetidein, famotidin, ranitidin, omeprazoe, trimethoprim.
 Menurunkan efek :  Amilorid dan spironolakton dapat menurunkan respon inotropik digoksin. Kolestiramin, kolestipol, kaolin-pektin, dan metoklopramid dapat menurunkan absorpsi digoksin. Levothyroxine (dan suplemen tiroid yang lain) dapat menurunkan kadar digoksin dalam darah. Penicillamine dihubungkan dengan penurunan kadar digoksin dalam darah.

1.8 Sediaan Digoksin
Digoksin tersedia dalam bentuk tablet, eliksir, kapsul cair, dan injeksi.





2.        DIURETIK
Diuretik adalah  obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istiah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urine yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat – zat terlarut dan air. Fungsi utama diueretik  adalah untuk memobilisasi cairan edema,  yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian  rupa sehingga volume cairan ekstra sel kembali menjadi normal. Pengaruh diuretik terhadap eksresi zat terlarut penting artinya untuk menetukan tempat kerja diuretic dan sekaligus untukmeramalkan akibat penggunaan suatu diuretic. Secara umum diuretic dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu : pengahambat mekanisme transport elektron di dalam tubuli ginjal, diuretic osmotik. Obat yang dapat mengahambat transport elektrolit di tubuli ginjal ialah benzotiadiazid,diuretik kuat, diuretic hemat kalium, dan penghambat karbonik anhidrase.

Diuretik Kuat                             
Diuretik kuat adalah (high celling diuretic) mencakup sekelompok diuretic yang efeknya sangat kuat dibandingkan dengan diuretik lain. Tempat kerja utamanya dibagian epitel tebal ansa Henle bagian asenden, karena itu keompok ini disebut sebagi loop diuerik. Termasuk dalam kelompok ini adalah furosemid, torsemid, asam etakrinat, dan bumetanid.
Furosemid , asam 4 – kloro – N – furfuri- 5sulfamoil antranilat masih tergolong derivat sulfonamide. Obat ini merupakan salah satu obat standar untuk pengobatan gagal jantung dan edema paru.
Gbr: Tempat mekanisme kerja diuretic kuat

2.1  Farmakokinetik
Absorbsi
Loop diuretic mudah diserap melelui saluran cerna, dengan derajat yang berbeda-beda. Bioavalabilitas furosemid 65% sedangkan bumetenid hampir 100%.
Distribusi
Obat golongan ini terikat pada protein plasma secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi glomerulus tetapi cepat sekali disekresi melalui system transport asam organic di tubulus proksimal.
Metabolisme
Obat terakumulasi di cairan tubuli dan mungkin sekali di tempat kerja didaerah yang lebih distal lagi.
Eksresi
Kira-kira 2/3 dari asam etakrinat yang diberikan IV diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi dengan senyawa sulfhidil terutama sistein dan N-asetil sistein.

2.2  Farmakodinamik
Loop dieuretik terutama bekerja dengan menghambat reabsorbsi elektrolit Na+/K+/2Cl- di ansa henle ascenden bagian epitel tebal; tempat kerjanya di permukaan sel epitel bagian luminal (yang menghadap ke lumen tubuli). Pada pemberian IV obat ini cenderung menigkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai peningkatan filtrasi glomerulus. Peningkatan aliran darah ginjal ini relative hanya berlangsung sebentar. Dengan berkurangnya cairan ekstra sel akibat dieresis, maka aliran darah ginjal menurun dan hal ini akan mengakibatkan meningkatnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli proksimal. Hal terakhir ini merupakan suatu mekanisme kompensasi yang membatasi jumlah zat terlarut yang mencapai
bagian epitel tebal Henle ascendens sehingga mengurangi dieresis.
http://www.cybermedicine2000.com/pharmacology2000/Autonomics/Adrenergics1/Renal_Diuretics1u.jpg
Masih dipertentangkan apakah diuretik kuat juga bekerja di tubuli proksimal. Furosemid dan juga bumetanid mempunyai daya hambat enzim karbonik anhidrase  karena keduanya merupakan derivat sulfonamid, seperti tiazid dan asetazolamid, tetapi aktivitasnya terlalu lemah untuk menyebabkan diuresis di tubuli proksimal. Asam etakrinat tidak menghambat enzim karbonik anhidrase.
Diuretik kuat juga menyebabkan meningkatnya eksresi K­+ dan kadar asam urat plasma, mekanismenya kemungkinan besar sama dengan tiazid. Eksresi  Ca++ dan Mg++  juga ditingkatkan sebanding dengan peningkatan ekskresi Na+. Berbeda dengan tiazid, golongan ini tidak meningkatkan re-absorbsi Ca++ di tubuli distal. Berdasarkan atas efek kalsiuria ini, golongan diuretik kuat digunakan untuk pengobatan simptomatik hiperkalsemia.
Diuretik kuat meningkatkan ekskresi asam yang dapat dititrasi (titrable acid) dan ammonia. Fenomena yang terjadi karena efeknya di nefron distal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya alkalosis metabolik. Bila mobilisasi cairan edema terlalu cepat, alkalosis metabolik oleh diuretik kuat ini terutama terjadi akibat penyusutan volume cairan ekstrasel.

Gambar 2. Struktur Kimia Furosemide, azomide, Bumetanide, dan Piretanide
2.3  Indikasi atau Penggunaan klinik

Gagal jantung
Furosemid merupakan obat standar untuk gagal jantung yang disertai edem dan tanda-tanda bendungan sirkulasi seperti peninggian tekanan vena jugular, edema paru, edema tungkai, dan asites. Furosemid lebih banyak digunakan dari pada asam etakrinat, karena gangguan saluran cerna lebih ringan dan kurva dosis respons kurang curam. Untuk edema paru akut diperlukan pemberian secara intravena. Pada keadaan ini perbaikan klinik dicapai karena terjadi perubahan hemodinamik dan penurunan volume cairan ekstrasel dengan cepat, sehingga alir balik vena dan curah ventrikel kanan berkurang.

Edema refrakter
Untuk mengatasi edema refrakter diuretic loop biasanya diberikan bersama diuretic lain, misalnya thiazid atau diuretic hemat kalium. Pemakaian dua macam obat diuretic loop secara bersamaan merupakan tindakan tidak rasional.

Asites dan edema akibat gagal ginjal
Diuretic loop merupakan obat efektif untuk asites akibat penyakit sirosis hepatis. Dan edema akibat gagal ginjal.

Gagal ginjal akut
Loop diuretic diberikan pada pasien gagal ginjal akut yang masih awal baru terjadi namun hasilnya tidak konsisiten.

Menurunkan kadar kalsium plasma
Diuretic loop dapat menurunkan kadar kalsium plasma pada pasien hiperkalsemia simptomatis dengan cara meningkatkan ekskresi kalsium melalui urin. Bila digunakan untuk tujuan ini, maka perlu pula diberika suplemen Na+ dan Cl- untuk menggantikan kehilangan Na+ dan Cl- melalui urin.

2.4  Cara Pemberian dan Dosis

Sebaiknya diberikan secara oral, kecuali bila diperlukan untuk dieresis segera, maka dapat diberikan IM satu IV. Bila ada nefrosis atau gagal ginjal kronik maka diperlukan dosis furosemid jauh lebih besar daripada dosis biasa. Hal ini disebabkan oleh banyaknya protein dalam cairan tubuli yang akan mengikat furosemid sehingga menghambat dieresis. Selain itu pada pasien dengan uremia, sekresi furosemid melalui tubuli menurun.
Furosemide ada yang dalam bentuk oral (tablet) dan injeksi (IV/IM). Untuk yang penggunaan oral mungkin pasien sudah familiar , tetapi untuk yang injeksi biasanya pasien diberikan injeksi oleh dokter. Untuk penggunaan injeksi dirumah, maka pasien akan diberikan latihan tentang cara penggunaan injeksi oleh petugas kesehatan. Dalam hal ini pasien harus benar-benar mengerti apa yang telah diajarkan baik tentang pengaturan dosis sampai teknik aseptic sebelum melalukan injeksi.
Pasien tidak diijinkan untuk meningkatkan dosis sendiri lebih dari yang telah diresepkan atau berhenti menggunakan obat tanpa konsultasi terlebih dahulu kepada dokter. Dosis yang diberikan tergantung pada keadaan klinis pasien dan respon terhadap terapi. Pada anak-anak penggunaan dosis lebih dari 6 mg/kgBB tidak dianjurkan. Pemakaian dosis pertama mungkin akan meningkatkan jumlah urin atau pasien akan sering BAK, oleh karena itu supaya tidak mengganggu kenyamanan tidur pasien, maka dianjurkan untuk mengkonsumsi obat sebelum jam 6 sore.


http://www.projectlumi.org/blog/wp-content/uploads/2012/04/g010327.gif

TABEL SEDIAAN, DOSIS, DAN EFEK DIURETIK KUAT
Obat
Sediaan
Dosis
Efek
Furosemid

Tab.20&40 mg ;
Injeksi 20mg/ampl 2 ml


ü  10-40 mg oral 2x sehari (HT)
ü  20-80 mg iv, 2-3 x sehari (CHF)
ü  Sampai 250-2000 mg oral/iv

ü  Diuresis dalam 10-20 menit
ü  Efek maksimal 1,5 jam
ü  Lama kerja 4-5 jam

Torsemid


ü  5-10 mg oral, 1 x sehari (HT),
ü  10-20 mg (CHF), oral atau iv, dapat naik sampai 200 mg


ü  Onset 10 menit
ü  Efek maksimal 60 menit
ü  Lama kerja 6-8 jam

Butenamid

Tab.0,5&1mg ;
Inj. 5 mg
ü  0,5-2 mg, oral 1-2x sehari
ü  Maksimum 10 mg/hari

ü  Onset 75-90 menit
ü  Lama kerja 4-5 jam

Asam etakrinat

Tab 25& 50 mg ;
Injeksi 50mg/amp
ü  50-200mg/hari
ü  0,5-1 mg/kg BB



HT = Hipertensi
CHF = Gagal Jantung Kongestif



Untuk pemberian injeksi dosis Minimal/Maximal untuk dewasa adalah 10 mg/600mg. Untuk anakanak dosis Minimal/Maximal adalah 0.5mg/kg / 6 mg/kg.
Sedangkan untuk pemberian secara oral untuk dewasa dosis Minimal/Maximal adalah 20mg / 600mg, dan untuk anak-anak dosis Minimal/ Maximal adalah 0.5mg/kg / 6mg/kg. Untuk pengobatan edema, pada dewasa bisa digunakan Furosemide tablet 20-80 mg sigle dose. Jika dibutuhkan, pada dosis yang sama dapat diberikan 6-8 jam berikutnya atau dosis bisa ditingkatkan. Dosis bisa ditingkatkan 20 atau 40 mg dan tidak diberikan kurang dari 6-8 jam berikutnya. Pasien dengan sigle dose harus diberikan satu atau dua kali sehari (misal : pada jam 8 pagi dan 2 siang). Untuk anak-anak dapat juga diberikan per oral tablet dengan dosis 2 mg/kg BB diberikan single dose. Jika respon diuretik tidak juga hilang maka dosis dinaikkan 1-2 mg/kg BB diberikan 6-8 jam setelah pemberian sebelumnya, asalkan pemberian dosis tidak mencapai kadar minimal yaitu lebih dari 6 mg/kgBB.
Pada pengobatan hipertensi dapat juga diberikan furosemide tablet 80 mg, biasanya dibagi menjadi 40 mg dan diberikan dua kali sehari. Jika respon tidak begitu memuaskan, dapat ditambahkan agen antihipertensi yang lain. Tetapi perubahan tekanan darah harus selalu dimonitor ketika furosemide diberikan dengan agen antihipertensi yang lain. Untuk mencegah tekanan darah yang turun secara mendadak, dosis agen-agen yang lain harus dikurangi minimal 50% ketika furosemide tablet ditambahkan ke dalam regimen. Durasi furosemide adalah 6-8 hari dimana waktu paruhnya adalah 2 hari, sehingga pemberian ulang dosis setiap dua hari jika perlu. Obat diekskresikan lewat urin.

2.5  Efek samping

Efek samping asam etakrinat dan furosemid dapat dibedakan atas :
1. Reaksi toksik berupa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang sering terjadi
2. Efek samping yang tidak berhubungan dengan kerja utamanya jarang terjadi.

Gangguan saluran cerna lebih sering terjadi dengan asam etakrinat daripada furosemid. Tidak dianjurkan pada wanita hamil kecuali bila mutlak diperlukan. Sebagian efek samping ini berkaitan dengan gangguan keeimbangan cairan dan elektrolit, antara lain hipotensi, hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia.

·         Gangguan cairan elektrolit
Sebagian efek berkaitan dengan gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan antara lain: hipotensi, hiponatremia, hipokalemia, hipokloremia, hipokalsemia, dan hipomagnesia

·         Ototoksisitas
Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian sementara maupun menetap, dan ini merupakan efek samping serius. Ketulian sementara juga dapat terjadi pada furosemid dan jarang pada butenamid. Ketulian disebabkan oleh perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfa.

·         Efek metabolik
Hiperuresemia, hiperglikemia, penigkatan kolesterol LDL dan trigliserida serta penurunan HDL.

·         Reaksi alergi
Berkaitan dengan struktur model yang menyerupai sulfonamide, sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi sulfonamide.

·         Nefritis intersisialis alergik
Furosemid dapt menyebabkan nefritis intersisialis alergik yang menyebabkan gagal ginjal reversible.

2.6  Kontraindikasi dan perhatian
Gagal ginjal yang disertai anuria, Hati-hati pada pasien yang dicurigai hipokalemia, gout, hiperkalsemia, pengguna digitalis dan sirosis hepatik Tidak dianjurkan pada wanita hamil.

2.7  Interaksi obat

ü  Pemberian diuretic loop dapat meningkatkan risiko aritmia pada pasien yang juga mendapat digitalis atau obat antiaritmia.
ü  Pemberian bersama obat yang bersifat nefrotoksik seperti amininoglikosida dan anti kanker sispaltin akan meningkatkan risiko nefrositotoksisitas.
ü  Probenesid mengurangi sekresi diuretic ke lumen tubulus sehingga efek diuresisnya berkurang.
ü  Berinteraksi dengan warfarin dan klofibrat melalui penggeseran ikatannya dengan protein.
ü  Pada penggunaan jangka lama diuretic loop dapat menurunkan klirens litium.
ü  Penggunaan bersama sefalosporin dapat menigkatkan nefrotoksisitas sefalosporin
ü 



Anti inflamasi non steroid terutama indometasin dan kortikosteroid melawan kerja furosemid.




Gbr: furosemid dalam bentuk ampul

Gbr : tablet furosemid
3.      Asetaminofen
3.1  Pengertian Asetaminofen (Parasetamol)
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP) . Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002).
Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit fenasetin dan telah digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995). Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung (Sartono,1993).
Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 2011).
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun Parasetamol.
Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek samping yang paling ringan dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri. (Sartono 1996).
 



Sifat Zat Berkhasiat
Menurut Dirjen POM. (1995), sifat-sifat Parasetamol adalah sebagai berikut:
Sinonim : 4-Hidroksiasetanilida
Berat Molekul : 151.16
Rumus Empiris : C8H9NO2.
Sifat Fisika
Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.
Kelarutan : larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N; mudah larut dalam etanol.
Jarak lebur : Antara 168 dan 172.

3.2  Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati.(Lusiana Darsono 2002)
 














3.3  Farmakodinamik
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.
Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa.(Mahar Mardjono 1971).
Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain, seperti latihan fisik. (Aris 2009) .

3.4  Indikasi
 merupakan pilihan lini pertama bagi penanganan demam dan nyeri sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan bagi nyeri yang ringan sampai sedang.(Cranswick 2000) .

3.5  Kontra Indikasi
Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif terhadap obat ini. (Yulida 2009).



3.5  Sediaan dan Posologi
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500mg atau sirup yang mengandung 120mg/5ml. Selain itu Parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan.

3.6  Dosis Paracetamol
Dosis Parasetamol untuk dewasa 300mg-1g per kali, dengan maksimum 4g per hari, untuk anak 6-12 tahun: 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun: 60mg/kali, pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari. .(Mahar Mardjono 1971).

3.7  Efek Samping
Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada mukosa. Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimmune, defisiensi enzim G6PD dan adanya metabolit yang abnormal.
Methemoglobinemia dan Sulfhemoglobinemia jarng menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya kira-kira 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb. Methemoglobinemia baru merupakan masalah pada takar lajak. Insidens nefropati analgesik berbanding lurus dengan penggunaan Fenasetin. Tetapi karena Fenasetin jarang digunakan sebagai obat tunggal, hubungan sebab akibat sukar disimpulkan. Eksperimen pada hewan coba menunjukkan bahwa gangguan ginjal lebih mudah terjadi akibat Asetosal daripada Fenasetin. Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara menahun terutama dalam kombinasi dapat menyebabkan nefropati analgetik.
Mekanisme Toksisitas
Pada dosis terapi, salah satu metabolit Parasetamol bersifat hepatotoksik, didetoksifikasi oleh glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non toksik dan diekskresikan melalui urin, tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik meningkat melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan keracunan Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation. Dengan proses yang sama Parasetamol juga bersifat nefrotoksik.
Dosis Toksik
Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15g pada dewasa dapat menyebabkan hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati. Dosis lebih dari 20g bersifat fatal. Pada alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang menginduksi enzim hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat karena produksi metabolit meningkat.
Gambaran Klinis
Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan atas 4 stadium :
a.       Stadium I (0-24 jam)
Asimptomatis atau gangguan sistem pencernaan berupa mual, muntah, pucat, berkeringat. Pada anak-anak lebih sering terjadi muntah-muntah tanpa berkeringat.
b.      Stadium II (24-48 jam)
Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim pencernaan menghilang dan muncul ikterus, nyeri perut kanan atas, meningkatnya bilirubin dan waktu protombin. Terjadi pula gangguan faal ginjal berupa oliguria, disuria, hematuria atau proteinuria.
c.       Stadium III ( 72 - 96 jam )
Merupakan puncak gangguan faal hati, mual dan muntah muncul kembali, ikterus dan terjadi penurunan kesadaran, ensefalopati hepatikum.
d.      Stadium IV ( 7- 10 hari)
Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas dan progresif dapat terjadi sepsis, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan kematian. (Lusiana Darsono 2002) .

Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan :
a.       Adanya riwayat penggunaan obat.
b.      Uji kualitatif: sampel diambil dari urin, isi lambung atau residu di tempat kejadian. Caranya: 0,5ml sampael + 0,5ml HCL pekat, didihkan kemudian dinginkan, tambahkan 1ml larutan O-Kresol pada 0,2ml hidrolisat, tambahkan 2ml larutan ammonium hidroksida dan aduk 5 menit, hasil positip timbul warna biru dengan cepat. Uji ini sangat sensitive
c.       Kuantitatif:
Kadar dalam plasma diperiksa dalam 4 jam setelah paparan dan dapat dibuat normogram untuk memperkirakan beratnya paparan.
d.      Pemeriksaan laboratorium:
Elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, transaminase hati dan prothrombin time.


Penanganan
a.      Dekontaminasi
Sebelum ke Rumah Sakit:
Dapat diberikan karbon aktif atau sirup ipekak untuk menginduksi muntah pada anak-anak dengan waktu paparan 30 menit.
Rumah Sakit:
Pemberian karbon aktif, jika terjadi penurunan kesadaran karbon aktif diberikan melalui pipa nasogastrik. Jika dipilih pemberian metionin sebagai antidotum untuk menstimulasi glutation, karbon aktif tidak boleh diberikan karena akan mengikat dan menghambat metionin.
b.      Antidotum
N-asetilsistein  merupakan  antidotum  terpilih untuk keracunan Parasetamol. N-asetil-sistein bekerja mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis glutation dan mening-katkan konjugasi sulfat pada parasetamol. N-asetilsistein sangat efektif bila diberikan segera 8-10 jam yaitu sebelum terjadi akumulasi metabolit.
Methionin per oral, suatu antidotum yang efektif, sangat aman dan murah tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N asetilsistein
Dosis - Cara pemberian N-asetilsistein
a.       Bolus 150 mg /KBB dalam 200 ml dextrose 5 % : secara perlahan selama 15 menit, dilanjutkan 50 mg/KBB dalam 500 ml dextrose 5 % selama 4 jam, kemudian 100 mg/KBB dalam 1000 ml dextrose melalui IV perlahan selama 16 jam berikut.
b.      Oral atau pipa nasogatrik
Dosis awal 140 mg/ kgBB 4 jam kemudian, diberi dosis pemeliharaan 70 mg / kg BB setiap 4jam sebanyak 17 dosis. Pemberian secara oral dapat menyebabkan mual dan muntah. Jika muntah dapat diberikan metoklopropamid ( 60-70 mg IV pada dewasa ). Larutan N-asetilsistein dapat dilarutkan dalam larutan 5% jus atau air dan diberikan sebagai cairan yang dingin. Keberhasilan terapi bergantung pada terapi dini, sebelum metabolit terakumulasi.

Gbr: Pamol / paracetamol dalam bentuk tablet

PAMOL
KOMPOSISI :
PAMOL" Sirop
Tiap sendok takar (5ml) mengandung:
Paracetamol                 : 120 mg
PAMOL Tablet           : Tiap Tablet mengandung Paracetamol 500 mg
CARA KERJA OBAT:
Paracetamol merupakan derivat para-aminofenol, bekerja sebagai analgesik dan antipiretik.
INDIKASI:
Untuk meringankan:
-          Rasa sakit atau nyeri, misalnya : sakit kepala, sakit gigi, sesudah pencabutan gigi, nyeri pada otot.
-          Demam misalnya karena imunisasi.
KONTRA INDIKASI:
-          Penderita yang hipersensitif terhadap Paracetamol.
EFEK SAMPING:
-          Jarang terjadi, efek samping yang tidak spesifik pada pemakaian Paracetamol pernati dilaporkan.
-          Mual, muntah, diare, diaforesis, pallor dan sakit perut.
-          Pada dosis besar dan pemakaian lama dapat menyebabkan kerusakan hati.
PERINGATAN/PERHATIAN:
-          Hati-hati bila digunakan pada pasien dengan penyakit ginjal menghilang, segera hubungi dokter atau Unit Pelayanan   Kesehatan.
-          Penggunaan pada penderita yang mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan resiko kerusakan fungsi hati.
INTERAKSI OBAT:
-          Paracetamol memperkuat kerja vasopresin.
-          Polysorbate mempercepat absorpsi Paracetamol.
-          Paracetamol memperkuat efek beberapa obat antihipertensi dengan jalan menambah efek depresi susunan saraf pusat.
-          Propantheline menghambat absorpsi Paracetamol.
-          Metoclopramide  mempercepat  pengosongan  lambung sehingga mgmpercepat absorpsi Paracetamol dengan demikian  mempercepat efek analgesik.
ATURAN PAKAI:
PAMOL* Sirop :
Dibawah 1 tahun      : 1/2-1 sendok takar, 3 kaii sehari.
1-5tahun                    : 1-2   sendok takar, 3 kali sehari.
6-12tahun                  : 2-4   sendok takar, 3 kali sehari.
  1 sendok takar = 5 ml.
Atau menurut petunjuk dokter.
PAMOL'Tablet
Dewasa     :               : 1-2   tablet, 3-4 kali sehari.
 6-12 tahun : 1/2-1 tablet, 3-4 kali sehari.
 Atau menurut petunjuk dokter.

KEMASAN:
PAMOL'Sirop
Botol berisi 60 ml netto dilengkapi dengan sendok takar. Reg.No.: DBL9117606937A1
SIMPAN Dl BAWAH 30°C



TERLINDUNG DARI CAHAYA.  JANGAN DISIMPAN DALAM LEMARI PEMBEKU
Gbr : Pamol dalam bentuk sirup
4.      ANTASIDA
4.1 Definisi
Antasida berasal dari kata anti = lawan dan acidus = asam. Antasida adalah senyawa yang mempunyai kemampuan untuk menetralkan asam klorida (lambung) atau mengikatnya secara kimiawi.
Antasida merupakan obat-obatan pereda sakit pencernaan, sengatan jantung, gastritis (radang dinding lambung), serta reflux gastro oesofageal (semburan asam lambung ke oesofagus). Obat antasid juga membantu meredakan tukak di dinding lambung maupun duodenum. Obat antasid menetralkan asam lambung, dan membantu mencegah atau meredakan radang dan nyeri di saluran pencernaan atas. Antasid juga memberi waktu perbaikan pada dinding lambung atau duodenum yang rusak oleh tukak sehingga sensitif terhadap jumlah normal asam lambung. Antasid bisa dibeli bebas.
Antasida tidak mengurangi volume HCl yang dikeluarkan lambung, tetapi peninggian pH akan menurunkan aktifitas pepsin. Penggunaan antasida bermacam-macam, selain pada tukak lambung-usus, juga pada indigesti dan rasa ”terbakar”, pada reflux oesophagitis ringan, dan pada gastritis. Obat ini mampu mengurangi rasa nyeri dilambung dngan cepat (dalam beberapa menit). Efeknya bertahan 20-60 menit bila diminum pada saat perut kosong dan sampai 3 jam bila diminum 1 jam sesudah makan. Antasida dapat mengganggu penyerapan obat lain seperti tetrasiklin, digoksin, besi.
Umumnya antasida merupakan basa lemah. Senyawa oksi-aluminium (basa lemah) sukar untuk meninggikan pH lambung lebih dari 4, sedangkan basa yang lebih kuat seperti magnesium hidroksida secara teoritis dapat meninggikan pH sampai 9, tetapi kenyataannya tidak terjadi. Semua anatasida meningkatkan produksi HCl berdasarkan kenaikan pH yang meningkatkan aktivitas gastrin.
Antasida (antacid,antiacid ) merupakan salah satu pilihan obat dalam mengatasi sakit maag. Antasida diberikan secara oral (diminum) untuk mengurangi rasa perih akibat suasana lambung yang terlalu asam, dengan cara menetralkan asam lambung. Asam lambung dilepas untuk  membantu memecah protein. Lambung, usus, dan esophagus dilindungi dari asam dengan berbagai mekanisme. Ketika kondisi lambung semakin asam ataupun mekanisme perlindungan kurang memadai, lambung, usus dan esophagus rusak oleh asam memberikan gejala bervariasi seperti nyeri lambung, rasa terbakar, dan berbagai keluhan saluran cerna lainnya.
Dahulu senyawa natrium hidrogenkarbonat banyak digunakan, namun saat ini tidak dianjurkan lagi, karena pada netralisasi asam klorida dengan hidrogenkarbonat dengan cepat dibebaskan karbon dioksida dalam jumlah banyak, yang menyebabkan kembung dan jika ada ulkus malahan dapat menyebabkan ruptura lambung. Atas dasar inilah maka merupakan kesalahan, jika pada keracunan asam pada lambung diberikan alkali hidrogenkarbonat. Di samping itu pada pemberian oral natrium hidrogenkarbonat, ion natrium akan praktis diabsorbsi dengan sempurna, sehingga beban alkali organisme akan meningkat.
Antasida dibagi dalam dua golongan yaitu antasida sistemik dan antasida nonsistemik. Antasida sistemik misalnya natrium bikarbonat diabsorbsi dalam usus halus.
Antasida nonsistemik hampir tidak diabsorbsi dalam usus sehingga tidak menimbulkan alkalosis metabolik.

4.2  Penggolongan Antasida
4.2.1 Antasida sistemik
            Antasida sistemik dapat menyebabkan urine bersifat alkalis. Pada pasien dengan kelainan ginjal, dapat terjadi alkalosis metabolik. Contohnya : NaHCO3
a. Natrium bikarbonat (soda kue, anti maag,Gelusil II)
Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya tinggi. Reaksinya adalah sebagai berikut:        
                                                                                                 
Garam Natrium klorida (NaCl) yang terbentuk dapat menyebabkan retensi garam, edema. Karbon dioksida (CO2) yang terbentuk dalam lambung  akan menimbulkan efek carminative yang menyebabkan sendawa. Distensi lambung dapat terjadi, dan dapat menimbulakan perforasi. Karena zat-zat tersebut maka natrium bikarbonat jarang digunakan, kecuali pada keadaan asidosis metabolik (anonymous2,2007)
Efek samping : Selain menimbulkan alkalosis metabolik obat ini dapat menyebabkan retensi natrium dan udem, adanya alkali berlebihan di dalam darah dan jaringan menimbulkan gejala mual, muntah, anoreksia, nyeri kepala, dan gangguan perilaku.
Dosis Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk tablet 500-1000 mg. 1 gram natrium bikarbonat dapat menetralkan 12 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-4 gram.

4.2.2        Antasida non sistemik
            Antasida non sistemik hampir tidak diabsorbsi dalam usus sehingga tidak menimbulkan alkalosis metabolik
a. Aluminium hidroksida (Al(OH)3)(Gelusil, Maalox,Polysilane)
Alumunium hidroksida relatif aman, antasida yang umum digunakan. Pada penggunaan bertahun-tahun, deplesi fosfat tiba-tiba berkembang sebagai hasil ikatan fosfat oleh alumunium di saluran pencernaan yang sulit diabsorbsi di usus kecil, sehingga ekskresi fosfat melalui urin berkurang sedangkan melalui tinja bertambah. Risiko deplesi fosfat meningkat pada peminum alkohol, pasien malnutrisi, dan pasien dengan penyakit ginjal (termasuk mereka yang menjalani hemodialisa).


http://dadanghusori.files.wordpress.com/2009/12/lambung.jpg

Ion Aluminium dapat bereaksi dengan protein sehingga bersifat astringen (menciutkan selaput lendir). Antasida ini mengadsorpsi pepsin dan menginaktivasinya. Absorpsi makanan setelah pemberian aluminium tidak banyak dipengaruhi dan komposisi tinja tidak berubah. Aluminium juga bersifat demulsen dan adsorben.
Cara kerja obat ini adalah senyawa Aluminium yang merupakan suatu zat koloid yang terdiri dari aluminium hidroksida dan aluminium oksida yang terikat pada molekul air. Aluminium hidroksida akan melapisi selaput lendir lambung sebagai lapisan pelindung.   Senyawa ini menetralkan asam klorida, juga dapat mengikat sebagai asam klorida secara adsoptif.
            Reaksi yang terjadi pada lambung adalah sebagai berikut:
                                                                    
Efek samping Al(OH)3
      konstipasi yang dapat diatasi dengan memberikan antasida garam Mg.
      Dapat terjadi mual muntah.
      Gangguan adsorpsi fosfat dapat terjadi sehingga menimbulkan sindrom depresi fosfat disertai osteomalasia.
      Al(OH)3 dapat mengurangi absorpsi bermacam-macam vitamin dan tetrasiklin.
Aluminium Hidroksida digunakan untuk mengobati tukak peptic, nefrolitiasis fosfat dan sebagai absorben pada keracunan. (farmakologi & terapi)
Dosis Al(OH)3 : Antasida Al tersedia dalam bentuk suspensi Al(OH)3 gel yang mengandung 3,6-4,4 % Al2O3. dosis yang dianjurkan 8 mL tersedia juga dalam bentuk tablet, yang mengandung 50%  Al2O3. 1 gram Al(OH)3 dapat menetralkan 25 mEq asam. Dosis tunggal yang dianjurkan 0,6 gram
·         Sifat ± sifat fisikokimia
Gel aluminium hidroksida (USP 29) : suspensi aluminium hidroksida amorf dimana terdapat substitusi sebagian karbonat untuk hidroksida. Berupa suspensi kental berwarna putih dari sejumlah kecil cairan jernih yangterpisah selama pendiaman, mempunyai pH antara 5,5 dan 8,0. Simpan dalam wadah tertutup rapat dan hindari pembekuan.
Gel kering aluminiumhidroksida (USP 29): bentuk amorf dari aluminium hidroksida dimana terdapat substitusi sebagian karbonat untuk hidroksida. Mengandung ekivalen dengan tidak kurang dari 76,5 % Al(OH) 3 dan dapat mengandung aluminium karbonat dan bicarbonat basa dalam jumlah yang bervariasi.
 1 gel kering aluminium hidroksida ekivalen dengan 76,5 mg Al(OH). Merupakan serbuk amorf yang tidak berasa, tidak berbau, berwarna putih,tidak larut dalam air dan alkohol, larut dalam asam mineral encer dandalam larutan alkali hidrosida. Dispersi 4% dalam air mempunyai pH tidak lebih dari 10,0. simpan dalan wadah tertutup rapat.
USP 29 : serbuk putih meruah, praktis tidak larut dalam air, alkohol,kloroform, dan eter. Larut dalam asam-asam encer, simpan dalam wadahtertutup rapat.
USP 29 : suatu senyawa dari magnesium oksida dan silikon dioksidadengan proporsi air yang bervariasi.Mengandung tidak kurang dari 20%magnesium oksida dan tidak kurang dari 45% silikon dioksida.Berupaserbuk halus berwarna putih, bebas dari partikel. Tidak larut dalam air dan alkohol, segera terurai oleh asam mineral. Mengandung ekivalen dengan 40,0%-43,5 % MgO. Berupa serbukberwarna putih meruah, tidak berbau, atau massa rapuh berwarna putihyang ringan. Praktis tidak larut dalam air dan alkohol. Larut dalam asamencer dan effervescent.
USP 29 : merupakan kombinasi aluminium magnesium hidroksida dansulfat,mengandung ekivalen dengan 90%-105% Al5Mg10(OH)31(SO4) 2,xH2O, dihitung berdasarkan basis kering. Berupaserbuk kristalin berwarna putih, tidak berbau, tidak larut dalam air danalkohol, larut dalam larutan encer asam mineral, kehilangan 10%-20% dariberatnya bila dikeringkan pada suhu 200°C selama 4 jam.
USP 29 : serbuk mikrokristalin, berwarna putih halus, tidak berbau, praktistidak larut dalam air,  tidak larut dalam alkohol. Kelarutannya dalam air ditingkatkan dengan adanya karbondioksida atau garam-garam amoniummeskipun keberadaan alkali hidroksida mengurangi kelarutannya.

b. Kalsium karbonat (Kapur, Stomagel)
Kalsium karbonat merupakan antasida yang efektif karena mula kerjanya cepat, masa kerjanya lama, dan daya menetralkan asamnya cukup tinggi. Namun, peran obat ini sebagai antasida sudah amat berkurang. Seperti pada natrium hidrogenkarbonat, senyawa ini bereaksi dengan asam kloridaa lambung dengan membentuk karbondioksida, walaupun jumlah karbondioksida yang terbentuk jauh lebih sedikit dan karena itu agak  kurang mengganggu. dalam usus halus terbentuk karbonat dan  fosfat, kuosien absorpsi sekitar 10%.
Efek samping CaCO3 :
      dapat menyebabkan konstipasi
      mual & muntah
      perdarahan saluran cerna
      disfungsi ginjal
      fenomen acid rebound. Fenomena tersebut bukan berasal dari daya netralisasi tetapi merupakan kerja langsung dari kalsium di antrum yang mensekresi gastrin yang merangsang sel parietal yang mengeluarkan HCl (H+). Sebagai akibatnya sekresi asam pada malam hari akan sangat tinggi yang akan mengurangi efek netralisasi obat ini.
      Efek serius yang dapat terjadi adalah hiperkalsemia, kalsifikasi metastetik, alkalosis, arzetomia, terutama terjadi pada penggunaan kronis kalsium karbonat bersama dengan susu dan antasida lainnya. (sindrom susu alkali o.k. : Na(OH)3/CaCO3 + susu, dengan gejala: sakit kepala, lemas, mual, muntah)
      tulang: osteoporosis, batu ginjal
      saraf: neurotoksisitas
      cerna: gangguan saluran cerna (Anonymous 2,2007)

Dosis CaCO3
      Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet 600 dan 1000 mg. 1 g kalsium karbonat dapat menetralkan 21 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-2 g.
      Pemberian 4 gram kalsium karbonat dapat menyebabkan hiperkalsemia ringan, sedangkan pemberian 8 gram mengakibatkan hiperkalsemia ringan.
Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan obat ini :
·         sebagian obat ini dapat diabsorpsi, akan meningkatkan kadar kalsium dalam darah. Maka sebaiknya jangan diberikan lebih dari 20 g sehari.
·         Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal jangan lebih dari 4 gram sehari.


c. Magnesium hidroksida (Gelusil, Maalox, Mylanta)
Magnesium Hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasida. Obat ini praktis tidak larut dan efektif sebelum obat ini bereaksi dengan HCl dan membentuk MgCl2. Magnesium hidroksida yang tidak bereaksi akan tetap berada dalam lambung dan akan menetralkan HCl yang disekresi belakangan sehingga masa kerjanya lama. Antasida ini dan natrium bikarbonat sama efektifnya dalam hal menetralkan HCl.
Magnesium hidroksida adalah antasida yang lebih efektif dari alumunium tapi dapat menyebabkan diare, banyak sediaan antasida mengkombinasi antasida magnesium dan alumunium. Karena hanya sedikit jumlah Magnesium yang diserap, penggunaan sediaan magnesium pada penderita ginjal sebaiknya berhati-hati, karena ion magnesium dalam usus akan diabsorpsi dan cepat diekskresi melalui ginjal.
Efek samping Mg(OH)2 :
      menyebabkan efek katartik, sebab magnesium yang larut tidak diabsorpsi tetap berada dalam usus dan akan menarik air.
      Sebanyak 5-10 % magnesium diabsorpsi dan dapat menimbulkan kelainan neurologi, neuromuskular, dan kardiovaskular. (Anonymous2,2007)
Dosis Mg(OH)2 :
      Sediaan susu magnesium berupa suspensi yang berisi 7-8,5 % Mg(OH)2. 1mL susu magnesium dapt menetralkan 2,7 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 5-30 mL.
      Bentuk lainnya ialah tablet susu magnesium berisi 325mg Mg(OH)2 yang dapat menetralkan 11,1 mEq asam.

d. Magnesium trisilikat (Mg2Si3O8nH2O)
Sebagai antasida nonsistemik bereaksi dalam lambung sebagai berikut:


 


Mula kerja magnesium trisilikat lambat untuk menetralkan 30% HCl 0,1 N diperlukan waktu 15 menit, sedangkan untuk menetralkan HCl 60% 0,1N diperlukan waktu 1 jam.
Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam lambung diduga berfungsi menutup tukak. Sebanyak 7% silika dari magnesium trisilika akan diabsorbsi melalui usus dan diekskresi dalam urin. Silika gel dan magnesium trisilikat merupakan adsorben (menyerap zat-zat lain pada permukaannya) yang baik; tidak hanya mengabsobsi pepsin tetapi juga protein dan besi dalam makanan. Obat ini dalam lambung bereaksi dengan asam lambung dan melepaskan silisium oksida yang akan melapisi selaput lendir lambung  dengan lapisan pelindung.
Efek samping : diare
Dosis :
Ø dalam bentuk tablet 500 mg; dosis yang dianjurkan 1-4 gram.
Ø sebagai bubuk megnesium trisilikat yang mengandung sekurang-kurangnya 20% MgO dan 45% silikon dioksida. 1 gram magnesium trisilikat dapat menetralkan 13-17 mEq asam.
Hal yang Perlu diperhatikan :
Magnesium trisilikat adalah suatu penyerap yang baik, penggunaan bersama obat lain dapat menggangu penyerapan obat-obat lain.
Beberapa Contoh Nama Dagang Antasida
Preparat dagang (nama dagang yang digunakan)
Mengandung
Mylanta
Aluminium Hidroksida
Distra-cid
Gel Aluminium hidroksida
Magnesium oksida
Gel Aluminium hidroksida
Magnesium Karbonat
Gavisco
Asam Alginat
Aluminium Hidroksida
Magnesium trisilikat
Natrium Hidrogenkarbonat
Gelusil
Magnesium-aluminium-silikathidrat
Locid
Gel aluminium hidroksida
kalsium karbonat
Glisin
Magnesium Hidroksida
Maaloxan
Gel Aluminium Hidroksida
Gel Magnesium Hidroksida
Masigel
Dimagnesium-Aluminium trisilikat
Palliacol
Aluminium Hidroksida
Magnesium Hidroksida
Phosphalugel
Aluminium fosfat koloid
Rennie
Kalsium Karbonat
Magnesium kaarbonat
Riopan
Magaldrat (=aluminium-magnesium-hidroksida-sulfathidrat)
Solugastril
Gel aluminium hidroksida
kalsium karbonat
Talcid
Hidrotalsit (=aluminium-magnesium-hidroksida-karbonathidrat)


4.3 Bentuk Sediaan
Kaplet 200 mg, Tablet 200 mg, 250 mg, 300 mg, 325 mg, 400 mg; TabletKunyah 250 mg, 300 mg, 400 mg, 500 mg; Suspensi 200 mg/5 ml, 250 mg/5ml, 300 mg/5 ml, 325 mg/5 ml, 400 mg/5ml.


4.4 Waktu makan Obat
Sudah diketahui umum bahwa keasaman di lambung menurun segera setelah makan dan mulai naik lagi satu jam kemudian hingga mencapai dataran tinggi tiga jam sesudah makan. Berhubung dengan data ini, maka antasida haaarus digunakan lebih kurang 1 jam setelah makan dan sebaiknya dalam bentuk suspensi. Telah dibuktikan bahwa tablet bekerja kurang efektif dan lebih lambat, mungkin karena proses pengeringan selama penmbuatan mengurangi daya netralisainya
Pada oesophagitis dan tukak lambung sebaiknya obat diminum 1 jam sesudah makan dan sebelum tidur. Pada trukak usus 1 dan 3 jam sesudah makan dan sebelum tidur.

4.5 Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
Antasida:dewasa:oral:600-1200 mg antara waktu makan dan sebelum tidur malam.
Hiperfosfatemia:anak:50-150 mg/kg/24 jam dalam dosis terbagi tiap 4-6 jam, titrasi dosis sampai tercapai kadar fosfat dalam rentang normal.Dewasa:dosis awal:300-600 mg 3 kali/hari bersama makanan.
Magnesium hidroksida sebagai antasida diberikan dalam dosis sampaidengan 1 g per oral. Sebagai laksatif osmotik magnesium hidroksida diberikan dengan dosis sekitar 2-5 g per oral. Dosis sampai dengan sekitar 2 g per oral. Diberikan dengan dosis hingga 500 mg per oral.
Magaldrate diberikandi antara waktu makan dan malam sebelum tidur . Dosis sebagai antasida biasanya sampai dengan 1,5 g per oral. Kalsiumkarbonat mengikat posfat dalam saluran cerna untuk membentuk komplekyang tidak larut dan absobsi mengurangi posfat.

4.6 Indikasi
1. Pengobatan hiperasiditas, hiperfosfatemia.
2.Pengobatan jangka pendek konstipasi dan gejala-gejala hiperasiditas,terapi penggantian magnesium. Magnesium hidroksida juga digunakansebagai bahan tambahan makanan dan suplemen magnesium padakondisi defisiensi magnesium.

4.7 Kontraindikasi
1. Hipersensitivitas terhadap garam aluminum atau bahan-bahan lain dalamformulasi.
2. Hipersensitivitas terhadap bahan-bahan dalam formulasi, pasien dengankolostomi atau ileostomi, obstruksi usus, fecal impaction, gagal ginjal,apendisitis.
3. Pada pasien yang harus mengontrol asupan sodium (seperti:gagal jantung, hipertensi, gagal
ginjal, sirosis, atau kehamilan).
4.8 Farmakologi
·         Mula kerja obat laksatif: 48 jam. Sekitar 30% ion magnesium diserap oleh usus halus. Ekskresi:urin (sampai dengan 30% sebagai ion-ion magnesium yang terabsorpsi); feses (obat yang tidak diabsorpsi).
·         Bila diberikan secara oral bereaksi lebih lambat dengan HCL di lambung dari pada magnesium hidroksida. Bila diberikan secara oral bereaksilebih lambat dengan HCL di lambung dari pada magnesium hidroksida.
·         Pada pemberian per oral bereaksi dengan asam lambung membentuk magnesium klorida yang larut dan karbondioksida. Karbon dioksida dapat menyebabkan kembung dan eruktasi/bersendawa.
Kalsium karbonat diubah menjadi kalsium klorida oleh asam lambung. Kalsium karbonat juga mengikat fosfat dalam saluran cerna untuk membentuk komplek yang tidak larut dan mengurangi absorpsi fosfat. Beberapa dari kalsium diabsorpsi dari usus dan bagian yang tidak terabsorpsi diekskresikan












ANALISA OBAT

Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolic secara abnormal. Kemudian osteoatrithis yang diderita ibu tersebut merupakan penyakit peradangan akibat degeneratif. Sangat mungkin bahwa furosemid sedang diberikan kepada Mrs A sebagai terapi diuretik untuk mengobati retensi cairan biasanya terkait dengan Gagal Jantung kongestif. Dosis Mrs A dari 40 mg setiap hari di pagi hari adalah dosis awal standar namun harus disesuaikan dengan respon. Dosis pagi benar diimplementasikan untuk mengurangi sulit tidur dan mengurangi gangguan lambung. Furosemide bisa meningkatkan sensitivitas Mrs A ke digoxin. demikian, obat alternatif seperti ranitidine  mungkin dianjurkan. Pada pasien usia lanjut, dosis awal 500 sampai 750 mikrogram dapat diberikan sebagai dosis tunggal. Pemeliharaan dosis untuk orang dewasa di atas 65 tahun adalah 125 mikrogram PO sehari-hari dan untuk pasien tua yang lemah atau kurus ini mungkin hanya 63 mikrogram sehari atau 125 mikrogram setiap hari. Pemberian Digoksin dan diuretik merupakan relevan, apalagi dibantu oleh antasid. Antasid untuk mengurangi masalah toksikasi digoksin. Digoxin digunakan untuk mengobati CHF. Dosis 250 mikrogram setiap hari jauh melebihi dosis pemeliharaan rutin untuk pasien usia nya. Dengan demikian pasti bahwa Mrs A menderita toksisitas digoxin yang paling mungkin dan diperparah frusemid. Gejala Mrs A kebingungan, lekas marah kelelahan, dan gangguan visual gejala keracunan digoxin. Mylanta dapat menekan efektivitas digoxin namun dalam kasus ini dosis digoxin begitu tinggi sehingga Mylanta akan memiliki dampak minimal. Dosis digoxin Mrs A harus disesuaikan dengan kondisi klinis dan kadar serum nya dipantau. Digoxin harus dminum dan makan untuk mengurangi efek iritasi lambung yang dapat menyertai pengobatan. Frusemide dan digoksin dapat menyebabkan hipokalemia baik, hal ini dapat dikendalikan dengan mendorong Mrs A untuk makan makanan kaya kalium, menginstruksikan dia tentang regimen dosis, tanda-tanda toksisitas digitalis. Dan  ada kemungkinan bahwa parasetamol sedang diberikan kepada Mrs A untuk mengobati rasa sakit yang terkait dengan osteoarthritis, Parasetamol tidak bereaksi negatif dengan obat lain yang diambil oleh Mrs A, namun dosis nya harus dipantau dan disesuaikan menurut kebutuhan.



KESIMPULAN

Dalam farmakologi obat digunakan mempunyai efek yang beragam, dapat menjadi teraupetik, toksik, subtherapi, sampai dengan lethal. Dalam kasus Mrs. A, manajemen farmakologis pasien tampaknya bermasalah dan perlu dianalisis. Analisis ini perlu mempertimbangkan masalah utama polifarmasi, seperti penggunaan obat-obatan tanpa indikasi yang jelas, penggunaan bersamaan obat berinteraksi dan penggunaan dosis yang tidak pantas. Apabila hal ini terjadi maka menyebabkan toksikasi obat. Tampak jelas dosis pemeliharaan yang diberikan terhadap orang  tua diatas 70 tahun berlebihan, sehingga obat menjadi toksikasi, serta reaksi antar obat juga menjadi masalah atau menjadi subtherapi. Mendapatkan data dasar (denyut jantung dan irama, tekanan darah, dan elektrolit) sebelum memberikan dosis pertama. Dosis disesuaikan dengan kondisi klinis pasien dan dipantau oleh tingkat serum glikosida jantung, kalsium, kalium, magnesium, dan oleh EKG. Periksa gejala keracunan.













DAFTAR PUSTAKA

1.      Estuningtyas, Ari dan Azalia Arif.2009. “Obat Lokal” dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FK UI. Hal : 518-522.
2.      Setiawati, Arini dan Nafrialdi. 2009. “Obat Gagal Jantung” dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FK UI. Hal : 309-310.
3.      Wilmana, P. Freddy dan Sulistia Gan.2009. “Analgesik-Antipireutik, Analgesi-Anti inflamasi non steroid, dan Obat Gangguan Sendi Lainnya” dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FK UI. Hal : 237-239.
4.      Setiawati, Arini dan Nafrialdi. 2009. “Obat Gagal Jantung” dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FK UI. Hal : 305-306.
5.      E. Harlan. 2010. “Obat Diuretik” dalam Farmakoogi Dasar dan Klinik Katzung edisi 10. Jakarta :EGC :Hal 240- 253
6.      Olson, R Kent. 2010.”Digoksin” dalam Farmakologi Dasar dan Klinik Katzung edisi 10 . Jakarta : EGC: Hal 1003 – 1005
7.      Furst, E, Daniel. 2010.” Asetaminofen” dalam Farmakologi Dasar dan Klinik Katzung edisi 10. Jakarta : EGC: Hal 608 – 609